Archive | June, 2011

Lantunan Kisah

8 Jun

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

Sreeeeng … bulu kuduk berdiri spontan, Menetes air mata ini ketika lantunan lirik cipataan Bung Sartono melewati telinga dan meresap dalam hati. Mataku terpejam mengikuti setiap nada magisnya …. keadaan itu, tiba – tiba terpampang jelas dalam angan – angan. Harum semerbak daun pandan sangat melekat dihidungku, karena potongan – potongan daun pandan yang dibawah oleh murid (masing masing 5 bungkus kantong plastik ukurang 3/4)  dijadikan satu dan dibentuk menyerupai rumput di selebar ruangan itu. Bunga – bunga pilihan  para guru – guru di letakkan rapih di sekitar daun pandan yang telah tercecer indah dilantai. Seribu mata wali murid termasuk bundaku tampak serius mendengarkan sambutan kepala sekolah SDN Kepanjen 02  yang sedang berada diatas panggung untuk terakhir kalinya.

Di umurku waktu itu ternyata aku sudah merasa sedih dengan apa yang dinamakan ‘perpisahan’. Aku sadar betul akan berpisah dengan teman – teman kecilku, guru – guru favoritku yang dengan sabar mendidik kenakalanku dan semua yang ada didalam bangunan indah selebar 14 m dan panjang 16 m itu.

Semua mata serius itu disihirnya menjadi mata penuh penantian para wali murid yang berada di ruangan tersebut  ketika acara berlanjut pada pengumuman nilai masing – masing murid. Yang mereka tunggu adalah anak – anaknya bisa mendapatkan nilai bagus untuk bekal masuk ke SMP, bukan lagi menunggu apakah anak anaknya lulus atau tidak, karena berita kelulusan sudah diumumkan 3 hari sebelumnya.Dari kejauhan (tempat duduk untuk wali murid dan murid dipisah) Aku melihat wajah bunda tak seperti wali murid lain yang gelisah menunggu penguman nilai anak – anaknya, dengan wajah sok cool nya beliau berhasil menampilkan wajah biasa – biasa saja seolah tak ada apa – apa. Bunda selalu begitu, beliau tak pernah menampilkan wajah sesuai dengan keadaan saat itu (marah, capek, sedih,dll), entah karena tak mau berharap lebih terhadap nilaiku atau memang sebenarnya gelisah tapi ditutupi, whatever laah ..!.

Keadaan justru 180 derajat terbalik terjadi padaku, kringat dingin mengelucur deras di pembatas rambut bagian bawah dengan kerah baju putih – merahku, dasi mungil warna merahku berubah  menjadi agak kehitaman karena basah oleh keringat dahiku, was – was, deg – deg’an, penasaran semua tercampur dalam wajahku, alhasil muka ‘kecut’ lah yang berhasil aku pajang pada saat itu.

Bagaimana tidak, detik – detik itu adalah detik penentuan terkabulnya semua doa – doaku yang selalu aku panjatkan setelah shalat wajib setiap harinya. Aku ingat betul doa yang aku panjatkan pada saat itu, seperti iniliah rengek’an – rengek’an yang selalu aku panjatkan :

Ya Allah .. hamba tidak meminta apa – apa lagi selain membuat bundaku senang dan bangga di akhir sekolahku tingkat SD ini, aku tidak meminta untuk menjadi yang nomor 1, 2, ato 3. Permintaanku sederhana, supaya Bunda terpanggil di atas panggung. Terima kasih Ya Allah, hamba sayang Allah, amiinn.

Para wali murid yang terpanggil diatas panggung adalah beliau – beliau yang buah kasihnya  masuk dalam sepuluh besar nilai NUN tertinggi di sekolahku. Satu persatu Pak Gozi memanggil nama – nama yang beruntung masuk dalam jajaran 10 murid tersukses musim ini (#lebay). Tetapi uniknya beliau tak langsung memanggil nama murid tersebut, melainkan beliau menceritakan ciri-ciri dari murid – murid yang beruntung itu, setelah panjang lebar beliau menceritakan ciri – cirinya barulah menyebut namanya untuk mempersilahkan maju ke depan panggung bersama wali (orangtua) nya dan mendapatkan :

  • Rangking 1 >> Piala + piagam + eluhan positif (pujian) + foto bersama + bersalaman dengan Pak Gozi dan kepala sekolah + tangis bangga wali murid yang bersangkutan.
  • Rangking ke 2 – 10 >> piagam + bersalaman dengan Pak Gozi + foto bersama + pujian secukupnya.

Tak ayal banyak wali murid dan siswa siswi yang tertawa karena mendengar ciri – ciri yang Pak Gozi utarakan, karena beliau menceritakan ciri – ciri dalam bentuk kebiasaan sang murid setiap harinya, entah itu tingkah laku baiknya atau bahkan tingkah laku buruknya.  Aturan murid – murid yang dipanggil adalah dengan urutan dari urutan ke – 10 ke urutan ke – 1.

Aku hanya tertawa kecut ketika mendengar kata – kata lucunya, pengen sebenarnya tertawa lepas, tapi deg – deg’an + kringat dingin + wajah dingin sang bunda membuatku melebarkan mulut seadanya. Nama demi nama, ciri demi ciri diutarakan Pak Gozi dan tak ada tanda – tanda yang mengutarakan ciri – ciriku. Semakin gundahnya hatiku, tanpa sadar aku melirik bunda, dengan santainya beliau ketawa mendengar lelucon Pak Gozi. Sampai pada urutan ke – 3 masih belum juga namaku kepanggil, setelah aku lihat urutan 10 sampai 3 terdapat nama – nama top yang tiap penerimaan raport catur wulan selalu menghuni 3 besar rangking kelas  masing – masing (baik kelas A ataupun B). Dan anehnya wajah mereka sangat murung, mungkin karena mereka tak bisa mendapatkan rangking pertama kali ya ?? hahaha bodo amat liat mimik wajah mereka. Betewe aku juga termasuk orang – orang yang menghuni 3 besar untuk kelas B looh (hehe alhamdulillah).

Saingan terberatku tiap catur wulan dipanggil di urutan nomor 2, dengan wajah sumringah murid dan wali murid beranjak dari tempat duduk masing – masing serta maju ke atas panggung, batinku bergeming “alangkah indahnya hidupnya, sehingga bundanya berhasil dia buat sumringah dan semangat”. Ya Allah, kini tinggal rangking 1 saja yang tersisa, kemudian mataku melirik ke Piala yang akan diberikan pada murid yang akan menghuni Rangking itu, Tangan siapa yang dapat menjabat telapak  Pak Gozi dan Kepala sekolah, tangan siapa yang akan mengangkat Piala sambil memegang piagam yang bertulisakan kalau tidak salah baca “PIAGAM PENGHARGAAN PERAIH NILAI TERTINGGI TAHUN AJARAN 2003-2004”.

Kesibukanku melamun atas semua yang akan diraih oleh rangking 1 terpecah dengan tepuk tangan para murid dan wali murid diruangan tersebut. Aku tidak tahu apa yang terjadi beberapa menit yang lalu karena kesibukan melamunku. Semua mata memandangku diiringi penuh senyuman sambil berkata “Satria .. cepat maju”. Aku bingung dengan maksud mereka, sampai akhirnya Pak Gozi mengulangi ciri – ciri yang beliau katakan beberapa menit yang lalu. Jika tidak salah ingat seperti inilah ciri – ciri pendek yang sempat beliau ulangi :

Namanya sangat tegas, siapapun yang mendengarnya pasti beranggapan bahwa pemilik nama ini berperawakan besar, keadaan berbanding terbalik setelah melihat badan kecilnya. Namun jangan salah ini anak “kecil – kecil cabe rawit”, dia tak salah mempergunakan namanya di organisasi yang dia geluti di sekolah, dia aktif di organisasi PKS (Polisi Keamanan Sekolah), menjadi pemimpin upacara adalah kebiasaannya setiap seninnya,  dia menjabat sebagai PRATAMA atau ketua utama di kepramukaan, dan yang paling saya bangga, dia adalah keponakanku sendiri dan saya sangat kagum dengannya (sambil ketawa cengengesan), silahkan maju Satria kamu berhak mengangkat Piala itu, ajak bundamu naik ke atas panggung

Kata – kata itu membuatku terbelalak, pandanganku tak bergerak, menatap Pak Gozi yang dengan semangat melanjutkan kata – katanya yang tak jelas lagi terdengar di telingaku, shock berat menerpaku saat itu. Sampai akhirnya kecenganganku luntur karena bunda menghampiriku dari belakang dan memegang tanganku, jalanku terkesan tergeret karena pegangan bunda sambil melangkah kedepan. Yang aku sadar waktu itu adalah colekan – colekan tangan temen – temen yang berada di samping kiri kanan tepat aku melangkah ke depan. Di ujung sisi bangku (sebelum naik panggung) terlihat seorang laki – laki yang berdiri dengan perut buncit kebanggaanya dan kumis tebal kesayangannya tersenyum sambil menawarkan tangannya agar aku cepat menyambut tangannya, dialah Bapak Kepala Sekolah.

Sampai di atas panggung pandangan linglung tetap terpasang diwajahku, yang terdengar hanyalah “iya terima kasih”, ketika aku menoleh keatas baru aku sadar bahwa sumber suara keluar dari mulut bundaku diiringi dengan senyum – senyum dan menganggut manggut kepada semua orang yang mengucapkan selamat atas pencapaianku. Lirik ke kiri terlihat temen – temen dari urutan 10 hingga 2 sedang melongok melihat persiapan Bapak Kepala Sekolah yang sibuk mengambil piagam dan piala untukku. De javu sepintas terjadi pada pikiranku, hal yang sama terlihat di lamunanku beberapa menit yang lalu sebelum pengumuman rangking 1.

Piala itu akhirnya sampai di kepalan kedua tanganku, serta piagam di tangan bundaku, tangan keras menyambar telapak tangan kananku, diayunnya tanganku dengan tegas oleh Pak Kepala Sekolah sambil berkata :

Ketika kita bersalaman, harus tegas cara kita mencengkram tangan lawan kita dan mengayunnya secukupnya, wibawa akan tampak dari caramu bersalaman, sekali lagi selamat satria dan lanjutkan prestasimu

Tanpa pikir panjang aku lepas tanganku dari cengkraman tangan Pak Kepala Sekolah dan kemudian menyalaminya lagi dengan cara persis seperti yang beliau katakan, senyum bangga terlihat dari muka beliau sambil menepuk pundakku.

Begitu singkat acara pengumuman nilai bagi masing – masing murid, dan acara terakir adalah perpisahan dengan sang Ibu Bapak Guru dengan menyanyikan lagu Hymne Guru oleh team choir dan aku berada di dalam deretan itu. Heningnya suasana saat itu membuat hatiku gemetar sedih karena akan berpisah dengan teman – teman masa kecilku dan guru – guru kesayanganku. Begitu banyak pengalaman masa kecilku bersama semua orang yang berada di dalam ruangan itu.

Pandangan aku lontarkan jauh kedepan, mulai dari sudut paling kiri ruangan ke sudut paling kanan dan kemudian perlahan bergeser kedepan, terlihat temen – temen sedang asik mengikuti lagu yang kami bawakan, bersenda gurau, memperhatikan detail nilai bersama orang tuanya, jail, iseng ,semua terlihat jelas dari atas panggung. Pandangan mataku terhenti di sudut kiri bagian depan, disanalah berdiri sederet guru – guru yang mengajariku. Setiap aku melihat wajah masing – masing guru, terpancar kenangan yang pernah aku alami bersama beliau, kenangan mulai dari pertama masuk sekolah ini, olah raga barenng Bu Ninik (kelas 1 hingga 5), kue yang pernah dibagi oleh Bu Dar( kelas 3 ), cubitan khas ala Pak Armono (kelas 4), Suara habis karena mempersiapkan upacara 17 Agustus dengan Pak Gozi (kelas 6), PR Matematika oleh Pak Agus yang begitu banyak (kelas 5), Selalu di beri uang jajan oleh bu Eni Maryati (kelas 3 hingga kelas 6), Hafalan IPS 400 soal bersama Pak Kepala Sekolah (kelas 6).

Semua kenanagan itu terpampang jelas dibenakku ketika melihat masing – masing wajah mereka, dengan waktu yang bersamaan mereka membalas dengan mengacungkan jempol keatas kepadaku, mimik mulut yang kira – kira mengucapkan kata “Siiip”, senyuman manis yang bisa di artikan bangga terhadapku, kaca – kaca air mata , semua mereka tujukan padaku ketika aku melihat wajah beliau satu – persatu.

Kembali pandanganku terhenti pada sisi paling depan, dialah bundaku yang tak kembali ke tempat duduk awalnya setelah maju ke depan panggung. Beliau hanya melihat temen – temen yang sedang bernyanyi di depan panggung. Pertanyaan besar menghantuiku “Ya Allah apakah beliau tak bangga dengan pencapaianku?” , wajahnya sama sekali tak jauh berbeda dengan tadi (sebelum pengumuman nilai).

Setelah saling bersalaman satu ruangan, para murid dan wali murid dipersilahkan meninggalkan sekolah karena acara perpisahan sudah selesai. Sebenarnya aku sangat bersyukur atas apa yang terjadi hari itu, Allah benar – benar mengabulkan bahkan terkesan menambahkan doaku sehingga aku bisa mendapat nomor 1. Tetapi setelah melihat wajah bunda yang biasa – biasa saja, dan pertanyaan besar yang menghantuiku saat itu, tertunduk lesu adalah jawapan yang pas menggambarkan wajahku dalam perjalanan pulangku. Setelah terdiam sangat lama, kemudian aku memutuskan untuk tidak memikirkan apakah bunda bangga terhadapku atau sebaliknya. Yang penting aku telah berusaha dan berdoa agar beliau bangga terhadapku, masalah belau bangga atau engga itu terserah beliau. Kemudian aku tertidur dalam perjalanan pulangku.

Ketika aku membuka mata, guling dan bantal kesayanganku sudah berada di bawah kepala dan pelukanku. Treeeeeeeeeeeeeet .. terdengar sangat nyaring bunyi yang keluar dari perutku, aku sangat lapar. Jarum pendek di dinding kamarku berada di tengah angka 4 dan 5, setelah aku ingat – ingat aku sama sekali belum makan sejak pagi karena dari tadi pagi perutku sangat tidak bersahabat, mungkin karena tadi deg – deg’an menunggu hasil UAN ku. Melangkah malas ke dapur tidak ada siapa – siapa dan sialnya tidak ada apa – apa yang bisa aku makan. Tanpa pikir panjang aku melangkah ke luar rumah pergi ke tempat budhe untuk mencari makanan. Dari jauh terlihat bunda sedang berbincang – bincang dengan budhe di teras depan rumah budhe.

“Bunda aku lapar, di dapur gak ada makanan, maem di rumah budhe yaa.. Budhe masak apa hari ini??” dari jauh aku meneriakkan kata – kata itu. “Ada kare ayam, yauda maem saja, bunda tadi kan ke sekolah bareng kamu, jadi bunda titip masak ke tempat budhe” begitu teriak budhe. Aku lari melewati mereka berdua dan masuk ke dalam rumah. Setelah mengambil makan barulah aku bergabung dengan mereka agar ada temannya saat makan. Aku duduk agak jauh dari mereka karena mencari tiang buat sandaran punggungku. Ketika asik makan karena kelaparan, makanku terhenti ketika mendengar celetukan yang dilontarkan bunda kepada budhe. Kata – kata nya sangat polos dan sederhana.

(.”) : “budhe..aku tadi naik ke atas panggung lhoo bareng kiki (nama panggilanku dirumah)”,

(“.) :“laah kenapa kok tiba tiba ke atas panggung ? mau nyanyi? ”. <jawab budhe singkat>

(.”) :”ya enggak lah, ya bawa piala sama piagam laah, kan kiki rangking 1” <sambil tersenyum manis>

(“.) : “waaah laen kali budhe saja yang ambil raportnya biyar bisa naik ke atas panggung, biyar di foto sama orang orang”. “laen kali giliran budhe ya ki ..”

(“.”) : iyaa .. jawabku sekenanya.

Senyuman itu adalah senyuman paling manis yang pernah aku liat, semua wanita kalah dengan senyum manis bundaku. Pertanyaan yang menghantuiku dan membuatku tertidur terjawab tuntas. Deg deg deg deg .. jantungku berdetak kencang, aku tak sadar bahwa sebenarnya bunda sangat bangga terhadapku sampai menceritakan ke budhe. Sambil memejamkan mata, batinku berkata

Allah .. engkau tak hanya mengabulkan semua doaku, tapi engkau meridhloinya 1000 kali lipat dari apa yang aku panjatkan, matur nuwun sanget Allah, aku akan tingkatkan ibadahku kepadaMu bagaimanapun caranya.

Dan ketika aku membuka mata, aku sadar bahwa peristiwa itu terjadi 8 tahun yang lalu.